Dalam rangka menampilkan hasil terbaik dari desain produk industri
furniture rotan dan kerajinan rotan Indonesia serta peningkatan promosi
dan pemasaran pengembangan industri pengolah rotan nasional maka
diadakan pameran Produk Furniture Rotan dan Kerajinan Rotan Indonesia,
pameran ini diikuti oleh produsen furniture dan kerajinan rotan
Indonesia,yang tergabung dalam anggota ASMINDO dan AMKRI. Pameran ini
diselenggarakan dari tanggal 27 sampai dengan 30 Nopember 2007.
Untuk meningkatkan daya saing industri pengolahan
rotan nasional
dapat dilihat dari perkembangan industri rotan sebagai berikut :
1. Potensi Bahan Baku Rotan
Indonesia merupakan negara penghasil rotan terbesar di dunia,
diperkirakan 80% bahan baku rotan di seluruh dunia dihasilkan oleh
Indonesia, sisanya dihasilkan oleh Negara lain seperti : Philippina,
Vietnam dan negara-negara Asia lainnya.
Daerah penghasil rotan yaitu P. Kalimantan, P. Sumatera, P. Sulawesi
dan P. Papua dengan potensi rotan Indonesia sekitar 622.000 ton/Tahun
2. Perkembangan Industri Pengolahan Rotan (2003- 2006 )
Pada periode 2003 – 2006, kapasitas industri pengolahan rotan
nasional hanya mengalami pertumbuhan rata-rata sebesar 0,38% per tahun
atau hanya meningkat dari 545.405 ton/tahun menjadi 551.585 ton/tahun
dan realisasi produksinya menurun dari 381.784 ton pada tahun 2003,
menjadi 372.761 ton pada tahun 2006 atau mengalami pertumbuhan sebesar
rata-rata - 0,79% per tahun.
Volume ekspor Rotan olahan mengalami penurunan dari 193.078 ton pada
tahun 2003 menjadi 172.782 ton pada tahun 2006 atau turun rata-rata
sebesar – 3,63% per tahun, namun di sisi lain nilainya meningkat dari
US$ 359 juta menjadi US$ 399 juta atau naik rata-rata 3,58% per tahun.
Hal ini menunjukkan terjadinya peningkatan harga jual ekspor per satuan
produk rotan olahan. Sementara itu untuk impor rotan olahan, meskipun
volume dan nilainya relatif kecil dibandingkan dengan volume dan nilai
ekspornya, namun pertumbuhannya sangat pesat, sehingga perlu diwaspadai
baru pada periode 2003 – 2006, impor rotan olahan meningkat dari 788 ton
(senilai US$ 1,41 juta) meningkat menjadi 2.709 ton (senilai US$ 3,74
juta) atau volume impor mengalami pertumbuhan sebesar rata-rata 50,92%
per tahun, sedangkan nilainya naik rata-rata sebesar 38,43% per tahun.
Industri rotan sebagian besar berlokasi di Cirebon dan sekitarnya.
Pada periode 2001 – 2004, baik jumlah perusahaan, produksi, ekspor
maupun penyerapan tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan
di Cirebon mengalami peningkatan, dimana jumlah perusahaan meningkat
dari 923 unit usaha menjadi 1.060 unit usaha, produksi meningkat dari
62.707 ton menjadi 91.181 ton, ekspor meningkat dari 32.871 ton (senilai
US$ 101,67 juta) menjadi 51.544 ton (senilai US$ 116.572 juta) dan
penyerapan tenaga kerja meningkat dari 51.432 orang menjadi 61.140
orang. Namun sejak tahun 2005, baik produksi, ekspor maupun penyerapan
tenaga kerja di sub sektor industri pengolahan rotan di Cirebon
mengalami penurunan yang cukup signifikan. Dan penurunan tersebut
berlanjut pada tahun 2006.
Pada tahun 2007, beberapa produsen mebel rotan di Cirebon mengalami
penurunan produksi, diantaranya yang semula dapat mengekspor sebanyak
120 kontainer per bulan, saat ini hanya mampu mengekpor 15–20 kontainer,
bahkan sudah ada yang tidak berproduksi lagi. Hal tersebut disebabkan
oleh sulitnya memperoleh bahan baku rotan yang berkualitas, namun
sebaliknya di negara pesaing bahan baku tersebut lebih mudah didapatkan.
Akibatnya banyak pengusaha rotan kecil yang semula sebagai sub
kontraktor tidak memperoleh pekerjaan lagi, sehingga menimbulkan banyak
pengangguran. Disamping itu, juga berdampak terhadap terhambatnya
pengembalian kredit oleh industri pengolahan rotan ke perbankan (alias
kredit macet). Apabila hal ini tidak segera diatasi, maka bisa jadi
industri pengolahan rotan akan menjadi semakin terpuruk.
Penurunan industri pengolahan rotan, baik yang terjadi pada skala
nasional maupun di sentra industri Cirebon sejak tahun 2005 disinyalir
penyebabnya adalah dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan No.
12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan, yang memperbolehkan
ekspor bahan baku rotan dan rotan setengah jadi (ditambah lagi dengan
mengalirnya bahan baku rotan ke luar negeri secara illegal),
mengakibatkan industri pengolahan rotan di dalam negeri sulit
mendapatkan bahan baku. Di lain pihak, industri pengolahan rotan di
negara-negara pesaing, terutama China dan Taiwan berkembang lagi secara
pesat, sehingga merebut pangsa pasar dan potensi pasar ekspor produk
rotan dari Indonesia.
Disisi lain ekspor produk rotan China yang pada pada tahun 2002 masih
berimbang dengan Indonesia sebesar US $ 340.000, pada tahun 2006 telah
meningkat 4 kali lipat, sementara Indonesia sebagai penghasil bahan baku
rotan kegiatan ekspor produk rotannya menurun.
3. Kebijakan di Bidang Perotanan dan Dampaknya Terhadap Industri Rotan Nasional
Sebelum tahun 1986, Indonesia merupakan pengekspor bahan baku rotan
terbesar di dunia, sedangkan industri pengolahan rotan nasional pada
saat itu belum berkembang.
Sejak tahun 1986, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri Perdagangan
No. 274/KP/X/1986 tentang larangan ekspor bahan baku rotan, industri
pengolahan rotan nasional mengalami perkembangan yang sangat pesat yaitu
meningkat dari hanya 20 perusahaan menjadi 300 perusahaan. Sementara
itu, industri pengolahan rotan di luar negeri (Taiwan dan Eropa) yang
bahan bakunya mengandalkan pasokan dari Indonesia banyak yang mengalami
kebangkrutan dan mengalihkan usahanya ke Indonesia, khususnya di daerah
Cirebon.
Dalam perkembangan selanjutnya ketika ekspor bahan baku rotan dibuka
kembali pada tahun 2005, yaitu dengan dikeluarkannya SK Menteri
Perdagangan No. 12/M-DAG/PER/6/2005 tentang Ketentuan Ekspor Rotan,
industri pengolahan rotan nasional perkembangannya mulai terhambat dan
kegiatan usaha tersebut menjadi lesu, sehingga berdampak pada
terjadinya pengangguran, kredit macet, berkurangnya perolehan devisa dan
menurunnya kontribusi industri pengolahan rotan nasional dalam
pembentukan PDB. Sebaliknya di negara-negara pesaing seperti China,
Taiwan dan Italia industri pengolahan rotannya bangkit kembali dan
berkembang sangat pesat.
4. Permasalahan yang dihadapi Industri Pengolahan Rotan antara lain
· Bahan Baku
Industri pengolahan rotan nasional mengalami kesulitan mendapatkan
bahan baku yangdisebabkan antara lain adanya kebijakan ekspor bahan baku
rotan serta masih maraknya penyelundupan rotan ke luar negeri
Produksi penguasaan teknologi finishing masih ketinggalan serta
desain produk-produk rotan olahan masih ditentukan oleh pembeli dari
luar negeri (job order).
· Pemasaran
Masih lemahnya market intelligence, mengakibatkan terbatasnya informasi pasar ekspor.
5. Strategi Pengembangan
Untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh industri pengolahan
rotan tersebut diatas dikembangkan strategi sebagai berikut :
Peninjauan kembali kebijakan ekspor bahan baku rotan serta peningkatan pemberantasan penyelundupan rotan ke luar negeri.
Peningkatan kemampuan market intelligence, dengan mengoptimalkan
fungsi Atperindag dan perwakilan diplomatik di luar negeri, aktif
mengikuti event-event pameran produk rotan yang bergengsi di Luar
Negeri.
6. Tindak lanjut Kebijakan
Untuk membangkitkan kembali industri pengolahan rotan nasional
diperlukan dukungan dari semua pihak (pemangku kepentingan) untuk saling
bekerjasama secara sinergis dengan mengutamakan kepentingan nasional
diatas kepentingan pribadi, kelompok maupun sektoral.
Perlu dilakukan peninjauan kembali tentang Ketentuan Ekspor Rotan
yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan No.
12/M-DAG/PER/6/2005, dalam rangka menjamin kontinuitas pasokan bahan
baku rotan di dalam negeri, serta peningkatan daya saing produk barang
jadi rotan di luar negeri.
Departemen Perindustrian